“Bagaimana kami mau melakukan pembelajaran daring Pak?, wong siswa disini handphone aja gak megang. Kalaupun ada HP, ya cuma satu-satunya di keluarga, itu pun dibawa orang tuanya ke ladang, atau jualan kepasar, dan pulang jualan dari pasar bisa tiga hari atau seminggu kemudian”.
Oleh : Nurhadi Soebchi
“Bagaimana kami mau melakukan pembelajaran daring Pak?, wong siswa disini handphone aja gak megang. Kalaupun ada HP, ya cuma satu-satunya di keluarga, itu pun dibawa orang tuanya ke ladang, atau jualan kepasar, dan pulang jualan dari pasar bisa tiga hari atau seminggu kemudian”.
Begitu salah satu penggalan sesi dialog saya dengan kepala sekolah dasar, sebut saja Bu Rimas, yang diungkapkan saat bercerita tentang pembelajaran saat pandemi dua tahun lalu di sekolahnya.
Bu Rimas sendiri adalah seorang kepala sekolah Dasar dari wilayah pegunungan Kabupaten Bandung Barat.
Selama saya berinteraksi, dia orang yang selalu bersemangat untuk memajukan sekolahnya.
Seperti pada kesempatan itu, dia bercerita tentang suasana pembelajaran di sekolah.
Bagaimana pandemi membuat anak-anak kehilangan semangat belajar, karena hampir dua tahun tidak pernah belajar. Karena kebijakannya memang tidak dak boleh ngumpul-ngumpul.
Sekarang bagaimana mau belajar, wong bagi anak-anak kampung, yang namanya belajar ya ngumpul di suatu tempat, dan disana ada guru dan siswa yang saling berinteraksi.
Trus sekarang disuruh daring. Lah iya, daring itu apa? jangankan siswa, , bisa jadi sebagian orangtua nya juga tidak paham.
Wuis lah , Anda jangan mikir neko-neko untuk nyuruh mereka nyari di mesin google.
Ndak usah bikin njlimet, wong sinyal internet saja susah disana.
Wualah dhalah, jangankan mikirin daring. Wong sekedar mikir untuk piknik aja ndak pernah.
Mereka toh mikirnya sederhana. Bagaimana mencari uang untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup saja, bukan untuk jalan-jalan, makan di cafe, ataupun ngemall.
Buat mereka, jalan-jalan ya cukup ke ladang ataupun ke sungai sekitar kampung saja.
Yang ada di otaknya, ya bagaimana besok bisa berangkat ke ladang. Dan bagaimana memikul hasil panen mereka ke pasar untuk dijual.
Lantas, bagaimana dengan pendidikan anak-anaknya. Yo wis, kan sudah disekolahin toh, trus selanjutnya ya itu menjadi urusan sekolah.
Wong sebagian besar orang tua siswa disini ya tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi.
Dan bisa jadi, mereka tidak paham tentang pendidikan.
Atau, mungkin hanya sekedar untuk menyempatkan berkata kepada anaknya di pagi: “Neng, belajar yang rajin yah biar pinter?. Itu aja belum tentu lhoh”.
Malahan bisa jadi kata-kata yang sering terungkap adalah: “sudah sana kamu bantuin Bapakmu saja di ladang”.
Dan di tulisan ini sebenarnya saya hanya ingin menceritakan, bahwa hal tersebut bisa jadi cerminan masyarakat kita secara umum.
Dan Indonesia ini bukan hanya Jakarta, Surabaya, ataupun hanya pusat kota besar saja. Indoneseia ini sangat luas, membentang dari sabang sampai merauke.
Bahkan mungkin saja di sebagian besar wilayah, terutama luar jawa, banyak yang masih tertinggal.
Trus bagaimana cermin pendidikannya, ya kira-kira begitulah, atau bahkan lebih parah kondisinya.
Beberapa waktu lalu, mas mentri pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim mengatakan, bahwa Indonesia memasuki masa krisis pembelajaran.
Menurutnya, ada kesenjangan besar antar wilayah dan antar kelompok sosial-ekonomi dalam hal kualitas belajar.
Dan setelah pandemi, kata mas mentri, krisis belajar ini menjadi makin parah
Menurutnya, pada saat pindah ke learning online, dan ini salah satu dampak negatif dari corona virus, setelah di asesmen dan kalkulasi terkait dampak learning loss-nya, terindikasi dari berkurangnya kemajuan belajar tingkat sekolah dasar, baik dari sisi literasi maupun numerasinya.
Pada kurun waktu dua tahun pandemi, terjadi learning loss (kehilangan pembelajaran) pada siswa sekitar enam bulan untuk literasi, dan delapan bulan untuk numerasi.
Learning loss (kehilangan Pembelajaran) itu sendiri adalah sebuah kondisi hilangnya sebagian kecil atau sebagian besar pengetahuan dan keterampilan dalam perkembangan akademis yang biasanya diakibatkan oleh terhentinya proses pembelajaran dalam dunia pendidikan.
Dan dampaknya tentu sangat besar bagi pembelajaran selanjutnya.
Pertanyaannya adalah, benarkah kehilangan pembelajaran (learning loss) hanya terjadi karena pandemi?.
Mungkin bisa iya, karena dari berbagai riset, memang ada dampak dari pandemi terkait learning loss.
Tetapi disini, saya hanya ingin mengatakan, bahwa sebenarnya kesenjangan antar wilayah dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang sudah berlangsung sangat lama, jauh lebih dasyat dampaknya.
Realitanya anak-anak kita di berbagai wilayah dan perkampungan memang kurang mendapat kesempatan pendidikan yang memadai selama ini.
Setidaknya dari cerita di atas menggambarkan realita kondisi masyarakat dan dunia pendidikan kita di wilayah perkampungan.
Ingat, wilayah pedesaan kita itu sangat besar. Dan disana kita bisa menemukan bahwa ada kesenjangan yang sangat lebar kondisi sosial-ekonomi dan infra struktur pendidika masyarakat pedesaan dengan perkotaan.
Sarana prasarana pendidikan juga masih sangat minim, apalagi kalau bertanya jaringan internet, wuislah, jangan kejauhan dulu mikirnya. Wong kadang guru-guru disana musti numpang ke gedung balai desa ataupun kantor kecamatan kalau ada acara daring dengan kami.
Padahal, kita pasti paham semua bahwa pendidikan adalah hak setiap warga, tanpa terkecuali.
Dan anak-anak disana juga punya hak penuh untuk mengenyam pendidikan yang baik untuk masa depannya.
Malah saya kok agak khawatir dengan anggaran pendidikan kita mendekati tahun menjelang pemilu 2024. Ya, semoga saja tidak ada anggaran pendidiyyang tergeser untuk pemilu 2024 yang butuh biaya besar.
Tapi ya sudahlah, saya tidak ingin hanya membawa Anda makin khawatir terhadap masih kelamnya dunia pendidikan kita saja.
Wong itu ndak cukup hanya dipikirin dan dikhawatirkan saja toh. Tapi setidaknya semoga tulisan ini bisa membawa Anda para pembaca semua menggeliat bangun dari tidur panjang.
Ya, setidaknya bangun dulu, sehingga kita bisa mulai berpikir untuk masa depan sambil nyruput kopi dari pegunungan sini yang rasanya mantap tenan, hemm.
Penulis tinggal di Depok, seorang pendidik yang juga menjadi fasilitator program sekolah penggerak.